✔ Brand Forgiveness: Upaya Memulihkan Reputasi Bisnis yang Rusak

Ketika sebuah brand melakukan kesalahan, reaksi konsumen bisa sangat keras. Namun, tidak semua berujung pada kehancuran—beberapa brand berhasil bangkit.

Caranya? Mereka mengupayakan brand forgiveness atas apa yang terjadi.

Lebih jelasnya, artikel ini akan menjelaskan konsep brand forgiveness, penyebab mengapa itu diperlukan, dan strateginya.

Apa Itu Brand Forgiveness?

Brand forgiveness adalah proses psikologis di mana konsumen memaafkan brand atas kesalahan yang mereka buat, dengan atau tanpa adanya permintaan maaf resmi.

Sebuah jurnal menunjukkan bahwa brand forgiveness sebenarnya berkaitan erat dengan brand love.1

Itulah alasan konsumen yang memiliki hubungan emosional kuat dengan sebuah brand cenderung lebih mungkin untuk memaafkan dan memberi kesempatan kedua.

Akan tetapi, bukan berarti mereka serta-merta melupakan insiden yang terjadi. Konsumen memilih untuk melanjutkan hubungan, meskipun pasti ada sedikit kekecewaan.

brand forgiveness

Penyebab Brand Membutuhkan Forgiveness

Setiap brand, besar maupun kecil, berpotensi melakukan kesalahan yang membutuhkan brand forgiveness dari konsumennya. Kesalahan ini dapat memicu krisis reputasi jika tidak ditangani dengan tepat.

Beberapa penyebab yang umum terjadi dan memerlukan strategi pemulihan meliputi:

  • Produk gagal atau cacat, sering kali berujung pada penarikan produk (product recall).
  • Skandal etika atau sosial, seperti kasus diskriminasi, isu lingkungan (greenwashing), atau pelanggaran hak pekerja.
  • Komunikasi atau kampanye pemasaran yang dianggap ofensif oleh sebagian atau seluruh target audiens.
  • Pelayanan pelanggan yang buruk dan kemudian menjadi viral di media sosial sehingga merusak citra brand secara cepat.

Contoh Krisis Perusahaan yang Membutuhkan Brand Forgiveness

Mari lihat beberapa contoh kasus besar yang pernah menimpa brand ternama sampai mereka harus mengupayakan brand forgiveness:

Volkswagen (2015)

Skandal Dieselgate Volkswagen terjadi pada 2015.2 Perusahaan tersebut diketahui memasang perangkat lunak ilegal pada sekitar 11 juta kendaraan untuk memanipulasi hasil uji emisi. 

Akibatnya, Volkswagen harus membayar denda lebih dari 32 miliar euro (sekitar Rp 557 triliun), termasuk untuk kompensasi pelanggan.3

Skandal ini menyebabkan penurunan harga saham, pengunduran diri CEO Martin Winterkorn, hingga rusaknya reputasi Volkswagen.

Sebagai upaya pemulihan, perusahaan berinvestasi dalam kendaraan listrik demi membangun kembali kepercayaan publik.4

Dove (2017)

Dove merilis iklan sabun yang menunjukkan seorang perempuan kulit hitam berubah menjadi perempuan kulit putih setelah menggunakan produknya.5

Kampanye ini menuai kritik tajam karena dianggap tidak sensitif terhadap isu representasi rasial.

Publik mengecam keras, terutama di media sosial. Dove segera menghapus iklan tersebut, mengeluarkan permintaan maaf resmi, serta menyatakan bahwa niat kampanye tersebut telah disalahartikan. 

Sempat kehilangan kepercayaan sebagian audiens, tetapi Dove masih bertahan karena brand equity mereka yang sangat kuat.

Tokopedia (2020)

Tokopedia pernah menghadapi krisis ketika data lebih dari 91 juta penggunanya bocor dan beredar di dark web.

Meskipun mereka mengatakan data penting seperti password terenkripsi, banyak pengguna tetap merasa khawatir dan kehilangan kepercayaan.

Tokopedia merespons dengan meningkatkan sistem keamanan, menggandeng pihak kepolisian, serta menyampaikan klarifikasi secara terbuka.6

Kepercayaan publik pun perlahan pulih karena langkah-langkah mitigasi yang mereka ambil cukup cepat dan transparan.

Faktor Penentu Konsumen Bersedia Memaafkan Brand

Belajar dari kasus-kasus menghebohkan di atas, kemauan konsumen untuk memberikan brand forgiveness tidak muncul begitu saja. 

Ada beberapa faktor yang memengaruhi keputusan konsumen untuk memaafkan sebuah brand, antara lain:

Keparahan Kesalahan

Makin parah pelanggaran yang dilakukan oleh brand, makin kecil pula kemungkinan konsumen mau memaafkannya.

Biasanya, kesalahan yang menyangkut nilai-nilai fundamental atau keselamatan lebih sulit dimaafkan.

Namun, perlu dicatat bahwa persepsi terhadap tingkat keparahan kesalahan dapat dipengaruhi oleh cara berpikir masing-masing individu.

Reputasi Brand Sebelumnya (Brand Equity)

Seperti pengalaman Dove, brand equity memang memiliki dampak signifikan. 

Brand dengan reputasi positif dan equity yang kuat sebelumnya cenderung mudah mendapatkan pemaafan dari konsumen. Ini karena konsumen telah memiliki persepsi baik yang terbangun lama.

Loyalitas pelanggan ini menjadi modal berharga dalam menghadapi krisis.

Faktanya, pelanggan loyal tujuh kali lebih mungkin untuk memaafkan brand atas kesalahan yang dilakukan.7

Sikap Brand dalam Merespons

Selain itu, sikap brand dalam merespons krisis juga menjadi pertimbangan utama.

Bagaimana cara brand bertanggung jawab, menyampaikan permintaan maaf, serta menunjukkan tindakan nyata untuk perbaikan akan dinilai oleh konsumen

Respons yang defensif atau menyalahkan pihak lain biasanya justru memperburuk situasi. 

Contohnya ketika PO bus Rosalia Indah dinilai salah merespons krisis sehingga akhirnya malah membuat publik makin geram.

Peran Brand Advocate dalam Membentuk Opini Publik

Terakhir, peran brand advocate tidak bisa diabaikan. 

Ketika para pelanggan setia atau bahkan influencer yang dipercaya menunjukkan dukungan, hal ini dapat membantu meredakan sentimen merek negatif dan mendorong brand forgiveness.

Strategi Mendapatkan Brand Forgiveness

Brand forgiveness harus diperjuangkan dengan pendekatan yang tepat. 

Berikut strategi yang dapat Anda terapkan untuk memulihkan kepercayaan konsumen serta reputasi bisnis:

1. Komunikasi yang Jujur dan Transparan

Dalam setiap krisis, how you respond jauh lebih penting dari what happened

Konsumen lebih cepat memaafkan brand yang berani mengakui kesalahan secara terbuka.

Menurut Dr. Peter de Boer di artikelnya,8 sikap proaktif adalah langkah pertama menuju brand forgiveness

Langkah konkret yang bisa Anda upayakan misalnya merilis pernyataan resmi dari manajemen tertinggi (CEO atau founder) dengan press conference krisis.

Jelaskan kronologi kejadian, akui kekeliruan, serta beri tahu tindakan perbaikan yang akan dilakukan. Sebarkan informasi tersebut ke semua saluran komunikasi PR Anda. 

Jika Anda tidak punya akses ke media, Anda dapat menggunakan layanan distribusi press release Publikasimedia untuk menjangkau publik secara luas.

2. Tindakan Perbaikan yang Nyata

Permintaan maaf saja tidak cukup. Setelah melakukan kesalahan, brand perlu menunjukkan tindakan perbaikan yang nyata.

Coba berikan kompensasi kepada konsumen terdampak, menawarkan program loyalitas tambahan, atau memperbaiki sistem yang menjadi penyebab kesalahan.

Contohnya telah ditunjukkan oleh Volkswagen yang membayar kompensasi dan Tokopedia yang berusaha meningkatkan sistem keamanannya.

Langkah-langkah ini bukan bermaksud menutupi kesalahan, tetapi sebagai tanda bahwa brand belajar dan tumbuh dari kesalahan.

3. Bangun Kembali Kepercayaan dengan Konsistensi

Tahapan penting yang ketiga adalah menata ulang kepercayaan konsumen dengan konsistensi.

Dalam hal apa?

Tunjukkan kembali komitmen Anda terhadap kualitas, layanan, serta nilai-nilai yang diusung brand

Bersiaplah karena ini akan jadi proses panjang. Pasalnya, kepercayaan publik tidak pulih dalam semalam

Seiring waktu, konsumen akan mengamati apakah brand benar-benar telah berubah atau hanya berbenah sementara. Di sinilah reputasi dibangun ulang.

4. Manfaatkan Brand Advocate dan Influencer

Seperti yang kami sampaikan tadi, brand advocate punya peranan penting. Di sisi lain, Anda juga bisa bekerja sama dengan influencer.

Dalam masa krisis, suara konsumen yang autentik lebih dipercaya daripada brand itu sendiri. Maka dari itu, manfaatkanlah kekuatan mereka.

Testimoni serta dukungan dari pihak ketiga yang tepercaya ini sering kali efektif dalam meyakinkan konsumen.

5. Evaluasi Internal dan Audit Brand

Jangan lupa melakukan evaluasi internal secara menyeluruh. Identifikasi akar permasalahan yang menyebabkan krisis tersebut. 

Lakukan audit untuk memastikan semua proses telah sesuai. Tujuannya untuk memperbaiki sistem dari dalam agar kesalahan serupa tidak terulang di masa depan. 

Langkah ini mungkin tidak terlihat di permukaan, tetapi akan terasa hasilnya dalam jangka panjang.

Brand Forgiveness adalah Bentuk Tanggung Jawab Perusahaan

Pada akhirnya, brand forgiveness menjadi kesempatan kedua yang sangat berharga bagi kelangsungan sebuah bisnis setelah melakukan kesalahan. 

Namun, penting untuk diingat bahwa pengampunan ini tidak datang dengan sendirinya. Pemulihan citra pasca krisis membutuhkan sebuah strategi cerdas dan tindakan nyata.

Bangunlah hubungan emosional yang kuat dan tulus dengan konsumen Anda. Dengan begitu, brand Anda akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan, termasuk saat membutuhkan brand forgiveness.

Referensi (terakhir diakses pada 10/5/2025):

  1. Keterkaitan brand forgiveness dengan brand love. https://www.researchgate.net/publication/359922859_Brand_Love_and_Brand_Forgiveness_An_Empirical_Study_in_Turkey ↩︎
  2. Skandal Dieselgate Volkswagen. https://www.bbc.com/news/business-34324772 ↩︎
  3. Denda dan kompensasi yang dibayar Volkswagen. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210413193618-4-237618/kalah-di-pengadilan-vw-bayar-ganti-rugi-ke-konsumen ↩︎
  4. Upaya pemulihan Volkswagen. https://www.npr.org/2018/04/24/605014988/after-diesel-scandal-vw-turns-to-new-leadership-and-electric-cars ↩︎
  5. Isu rasisme iklan sabun Dove. https://www.bbc.com/news/newsbeat-41542818 ↩︎
  6. Respons Tokopedia terhadap kasus kebocoran data. https://www.tempo.co/ekonomi/tokopedia-bicara-soal-pencegahan-data-bocor-hingga-investasi-keamanan-340494 ↩︎
  7. Kemungkinan pelanggan loyal memaafkan brand. https://www.marketingevolution.com/marketing-essentials/what-is-brand-equity-marketing-evolution ↩︎
  8. Sikap proaktif untuk mendapatkan brand forgiveness. https://www.linkedin.com/pulse/brand-forgiveness-factor-whats-your-breaking-point-dr-peter-de-boer/ ↩︎